Memakan Kepiting
March 25th, 2009
Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam rapat Komisi bersama dengan Pengurus Harian MUI dan Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika Majelis Ulama Indonesia (LP.POM MUI), pada hari Sabtu, 4 Rabiul Akhir 1423 H./15 Juni 2002 M., setelah
MENIMBANG
- bahwa di kalangan umat Islam Indonesia, status hukum mengkonsumsi kepiting masih dipertanyakan kehalalannya;
- bahwa oleh karena itu, Komisi Fatwa MUI memandang perlu menetapkan fatwa tentang status hukum mengkonsumsi kepiting, sebagai pedoman bagi umat Islam dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
MENGINGAT
- Firman Allah SWT tentang keharusan mengkonsumsi yang halal dan thayyib (baik), hukum mengkonsumsi jenis makanan hewani, dan sejenisnya, antara lain :
- “Hai sekalian manusia! Makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu” (QS. al-Baqarah [2]: 168).
- “(yaitu) orang yang mengikutRasul, Nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang munkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk… “(QS. al-A’raf[7]: 157).
- Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?” Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik dan (buruan) yang ditangkap oleh binatang buas yang telah kamu ajar dengan melatihnya untuk berburu, kamu mengajarnya menurut apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, Maka, makanlah dari apa yang ditangkapnya untukmu, dan sebutlah nama Allah atas binatang buas itu (waktu melepasnya). Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah amat cepat hisab-Nya”. Maka makanlah yang halal lagi baik dari rezki yang telah diberikan Allah kepadamu; dan syukurilah ni’mat Allah jika kamu hanya kepada-Nya saja menyembah. Dan makanlah makanan yang halal lagi baik! dari apa yang Allah telah berikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya. Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang baik, bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan panjang,………. ‘(OS.al-Baqarah[2] : 172).
- Kemudian Nabi menceritakan seoranglaki-laki yang melakukan perjalanan panjang, rambutnya acak-acakan, dan badannya berlumur debu. Sambil menengadahkan kedua tangan ke langit iaberdoa, ‘Ya Tuhan, ya Tuhan,.. (berdoa dalam perjalanan, apalagi dengan kondisi seperti itu, pada umumnya dikabulkan oleh Allah swt). Sedangkan, makanan orang itu haram, minumannya haram, pakaiannya haram, dan ia diberi makan dengan yang haram. (Nabi memberikan (komentar),’Jika demikian halnya, bagaimana mungkin ia akan dikabulkan doanya”… (HR. Muslim dari Abu Hurairah), “Yang halal itu sudah jelas dan yang haram pun sudah jelas; dan di antara keduanya ada hal-hal yang musytabihat (syubhat, samar-samar, tidak jelas halas haramnya),kebanyakan manusia tidak mengetahui hukumnya. Barang siapa hati-hati dari perkara syubhat sungguh ia telah menyelamatkan agama dan harga dirinya…” (HR.Muslim).
- Hadis Nabi : “Laut itu suci airnya dan halal bangkai (ikan)-nya” (HR. Khat-iisa11),
- ()atidah finhiyyah ? Pada dasarnya hukum tentang sesuatu adalah boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya
- Pedoman Dasar dan Pedoman Rumah Tangga MUIPeriode 2001-2005
- Pedoman Penetapan Fatwa MUI
Memperhatikan :
- Pendapat Imam Al Ramli dalam Nihayah Al Muhtajila Ma’rifah Alfadza-al-Minhaj, (t.t : Dar’al -Fikr,t.th) juz VIII, halaman 150 tentang pengertian “Binatang laut/air ,dan halaman 151- 152 tentang binatang yang hidup dilaut dan didaratan
- Pendapat Syeikh Muhammad al-Kathib a;-Syarbainidalam Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Al-Minhaj, (t.t ar Al-Fikr, T.th), juz IV Hal 297 tentang pengertian “binatanglaut/Air “, pendapat Imam Abu Zakaria bin Syaraf al-Nawawi dalamMinhaj Al-Thalibin, Juz IV, hal. 298 tentang binatang laut dan didaratan serta alasan (‘illah) hukum keharamannya yang dikemukakan ole hal-Syarbaini :
- Pendapat Ibn al’Arabi dan ulama lain sebagaimana dikutip oleh Sayyid Sabiq dalam Fiqh al-Sunnah (Beirut : Dar al-Fikr,1992), Juz lll, halaman 249 tentang “binatang yang hidup di daratan dan laut”
- Pendapat Prof. Dr. H. Hasanuddin AF, MA (anggota Komisi Fatwa) dalam makalah Kepiting : Halal atau Haram dan penjelasanyang disampaikannya pada Rapat Komisi Fatwa MUI, serta pendapat peserta rapat pada hari Rab 29 Mei 2002 M. / 16 Rabi’ul Awwal 1421 H.
- Pendapat Dr. Sulistiono (Dosen Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan IPB) dalam makalah Eko-Biologi Kepiting Bakau (Scylllaspp) dan penjelasannya tentang kepiting yang disampaikan pada RapatKornisi Fatwa MUI pada hari Sabtu, 4 Rabi’ul Akhir 1423 H / 15 Juni 2002M. antara lain sebagai berikut :
- Ada 4 (empat)jenis kepiting bakau yang sering dikonsumsi dan menjadi komoditas, yaitu :
- Scylla serrata,
- Scylla tranquebarrica,
- Scylla olivacea, dan
- Scylla pararnarnosain.
Keempat jenis kepiting bakau ini oleh masyarakat umum hanya disebut dengan “kepiting”.
1. Kepiting adalah jenis binatang air, dengan alasan:
- Bernafas dengan insang.
- Berhabitat di air.
- Tidak akan pernah mengeluarkan telor di darat, melainkan di air karena memerlukan oksigen dari air.
2. Kepiting termasuk keempat,jenis di atas(lili._angka 1) hanya ada yang :
- hidup di air tawar saja
- hidup di air taut saja, dan
- hidup di air laut dan di air tawar. Tidak ada yang hidup atau berhabitat di dua alam : di laut dan di darat.
Rapat Komisi Fatwa MUI dalam rapat tersebut, bahwa kepiting, adalah binatang air baik di air laut maupun di air tawar dan bukan binatang yang hidup atau berhabitat di dua alam : dilaut dan di darat :
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT.
MEMUTUSKAN
MENETAPKAN : FATWA TENTANG KEPITING
- Kepiting adalah halal dikonsumsi sepanjang tidak menimbulkan bahaya bagi kesehatan Manusia.
- Keputusan ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan ketentuan jika dikemudian hari terdapat kekeliruan, akan diperbaiki sebagaimana, mestinya.
Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.
Ditetapkan di: Jakarta Pada tanggal : 4 Rabi’ul Akhir 1423 H. 15 Ju1i 2002 M
KOMISI FATWA MAKLIS ULAMA INDONESIA
Ketua,
K.H. MA’RUF AMIN
Sekretaris,
DRS. HASANUDIN, S.Ag.
0 komentar:
Posting Komentar